Kaidah ke-7 dalam Kaidah-Kaidah Dakwah berbunyi,
Kaidah ke-7
"khatibunnas 'ala qadri 'uquulihim"
berbicaralah kepada manusia, sesuai kadar keilmuannya.
oleh: Isma Muhsonah Sunman
Berdakwah ila Allah itu dilakukan
dengan 2 cara, hikmah dan mau'idzhah hasanah(tutur kata yang baik). Dengan hikmah, berarti kita
mengetahui cara yang tepat untuk berdakwah sesuai dengan kategori manusianya. Dengan
hikmah, berarti dengan bijak, dengan ilmu pengetahuan. Seorang da'I yang
bijak tidak menyampaikan seluruh yang dia ketahui, melainkan secukupnya saja
sesuai kebutuhan mad'u(objek dakwah)nya. Itu berarti seorang da'I yang
bijak mengetahui apa-apa saja yang pantas disampaikan kepada objek dakwahnya.
Ibnu Abbas memahami perkataan Allah dalam
Surat Ali Imran Ayat 79, Walakin Kuunuu Rabbaniyyin" bermakna,
"Jadilah orang-orang yang bijak, dermawan dan pandai dalam agama." Sedang
Al-Bukhari mengatakan, "Arrabbaniy, adalah yang mendidik
orang-orang dari ilmu-ilmu yang sederhana kemudian yang rumit".
Dan memulai dengan ilmu-ilmu sederhana
dimaksudkan untuk menjaga akal sehingga tidak lepas dari dakwah. Ibnu Hajar
berkata, "yang dimaksudkan dengan ilmu-ilmu yang sederhana adalah,
yang jelas dari masalah tersebut, dan yang dimaksudkan dengan yang rumit adalah
yang lebih mendalam dan detil dari masalah itu."
Ada banyak
nash-nash (Alqur'an dan Hadits) yang menguatkan dalil daripada kaidah ke 7 ini;
1.
Al-Bukhari meriwayatkan
sebuah hadits yang diterjemahkan dengan bahasanya, (barang siapa yang
meninggalkan sebuah upaya/pilihan karena takut orang-orang akan salah paham
atasnya, dan bisa jadi orang-orang tersebut akan lebih buruk lagi pemahamannya).
Al-Aswad, "berkata kepada saya Ibnu
Az-Zubair, 'Aisyah ra banyak menceritakan rahasia kepadamu, maka apa yang ia
ceritakan kepadamu tentang ka'bah?" aku menjawab, "Aisyah ra berkata ,
Nabi Sallallahu'alayhi wasallam berkata, "Wahai 'Aisyah, kalau
kaummu lebih modern dari masanya sendiri, niscaya ka'bah akan dibangun berpintu
dua. Pintu masuk, dan pintu keluar"(shahih Al-Bukhari, Fathul Baari
1/224). Berkata Ibnu Hajar rahimahullah, dapat diambil faidah dari
hadits tersebut sebuah kaidah "meninggalkan sebuah kemaslahatan untuk
tidak jatuh pada keburukan"(fathul baari 1/225)
2.
Berkata Al-bukhari rahimahullah,
(Bab pengkhususan suatu ilmu untuk suatu kaum, tanpa menyampaikannya pada yang
lain karena khawatir tidak memahaminya).
Ali ra, berkata, "Berbicaralah kepada
manusia sesuai apa yang ia ketahui. Apakah kalian suka Allah dan Rasulullah
didustai?(karena kesalahpahaman suatu kaum saat memahami apa yang seorang
da'I sampaikan, sebab ketidaktahuan mereka)"(Shahih Al-Bukhari, Fathul
Baari 1/225)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Ada
orang yang tidak menyukai suatu tema pembicaraan tetapi menyukai tema yang
lain."
Hasan ra, dia mengingkari pembicaraan Anas
ra kepada Hajjaaj ra tentang kisah 'Uranain, karena Anas menjadikan kisah
tersebut sebagai cara untuk berlebih-lebihan dalam kisah pertumpahan darah yang
disesuaikan dengan penafsirannya sendiri yang tidak pasti (Fathul Baari
1/225). Kisah 'Urnain adalah kisah tentang kaum 'Urainah yang datang kepada
Rasulullah Saw, kemudian menetap di Madinah. Tetapi mereka tidak betah karena
tidak cocok dengan cuaca Madinah. Rasulullah Saw pun memberikan mereka satu
unta dari unta sedekah, kemudian mereka minum dari susu unta tersebut dan
berobat dengan air kencing unta itu. tetapi mereka membunuh para penggembala
kemudian mengambil unta-unta mereka. Rasulullah Saw mengejar mereka kemudian memotong
tangan dan kaki mereka dan meninggalkan mereka dalam kehausaan.
3.
Imam Muslim dengan sanadnya
berkata, dari Ibnu Mas'ud, "janganlah kamu berbicara kepada suatu kaum
tentang sesuata yang mana belum sampai akal-akal mereka kepada hal tersebut,
kecuali jika terjadi fitnah diantara mereka" (Shahih Muslim 1/11).
4.
Al-Bukhari berkata, "Berkata
Rasulullah, "Ya Mu'adz Bin Jabal" kemudian Mu'adz menjawab, "Labbaik,
Aku memenuhi panggilanmu ya Rasulullah" berkata (lagi) Rasulullah Saw,
"Ya Mu'adz" Mu'adz kembali menjawab "Labbaik Yaa Rasulullah wa
sa'daik" hingga 3 kali. Kemudian Rasulullah Saw berkata, "Tidak ada
seorang pun yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Nabi
Muhammad adalah utusan Allah, dari hatinya, kecuali Allah haramkan neraka
baginya." Mu'adz berkata, "Wahai Rasulullah, jika aku sampaikan
ini kepada orang-orang, apakah mereka akan mendapatkan kabar bahagia?"
Kemudian Rasulullah menjawab, "Maka mereka akan
bermalas-malasan". Dan Mu'adz baru
menyampaikan hadits ini di penghujung hayatnya (Shahih Al-Bukhari,
Fathul Baari 1/226).
Dalam berdakwah, sudah menjadi haknya sebuah
kebaikan untuk selalu disampaikan, namun ada pula yang tidak perlu disampaikan
demi menghindar dari keburukan.
Sebagai objek dakwah, manusia terbagi
menjadi beberapa variasi/kelompok;
Kelompok pertama:
manusia awam atau non akademis. Mendakwahi orang-orang awam cukup sulit.
Karena kondisi mereka seperti kondisi anak-anak SD yang baru belajar membaca
dan menulis. Kesulitan, kompleksitas itu pasti kita jumpai dalam proses dakwah
ini. Orang awam tidak bisa diberikan masalah yang pelik, bukti-bukti yang
terlalu berat, aturan yang bercabang-cabang. Berdakwah kepada orang-orang
awam ini dibutuhkan da'I khusus yang mampu memberikan contoh-contoh yang mudah
dipahami dan sesuai dengan keadaan mereka, bukan yang terlalu ilmiah atau di
luar jangkauan akal mereka. Dalam mendakwahinya pun harus
perlahan-lahan, dengan kelembutan, sampai dakwah benar-benar mampu menyentuh
hati mereka dan meninggalkan bekas yang mendalam. Contohnya, seperti
mengisahkan kepada mereka kisah-kisah para shaalihin, kabar-kabar tentang auliyaa`illah,
dan sejarah tentang para anbiya dan sahabat-sahabatnya. Cara menyampaikannya pun sebaiknya dalam bentuk cerita, bukan
analisa.
Kelompok
kedua: orang-orang lulusan
universitas. Orang-orang variasi ini, mencari kesimpulan analisis. Dalam
mendakwahinya para da'I harus menjaga derajatnya keilmuan sang mad'u. Seorang
da'I yang bisa mendakwahi orang-orang kelompok pertama (awam) belum tentu bisa
mendakwahi kelompok ini.
Kelompok
ketiga: orang-orang yang memiliki spesialisasi di bidang keilmuan.
Karena setiap spesialisasi memiliki istilah-istilah tersendiri, barang siapa
yang memahami kondisi ini maka ialah yang lebih mampu untuk mendakwahinya. Contohnya, seorang da'I yang ditugaskan
mendakwahi kalangan pengacara maka ia harus mengetahui aturan-aturan yang benar
dan aturan-aturan yang salah. Jika mad'unya adalah para dokter, maka
membutuhkan seorang da'I yang mampu menuntun mereka untuk berpikir tentang
aspek-aspek kebesaran Allah dan kekuasaran Allah dalam penciptaan manusia
begitu juga fungsi-fungsi anggota tubuh.
Jika da'I
hanya dibekali oleh ilmu-ilmu syar'I saja, maka kemungkinan untuk ditolaknya
lebih besar. Maka wajib bagi para da'I yang diplotkan pada kalangan atau
spesialisasi tertentu untuk memperluas tsaqafah(ilmu pengetahuannya), mencari
ilmu yang beragam untuk memperkaya ilmu yang dimilikinya. Untuk da'I yang
ditugaskan berdakwah pada suatu bidang khusus, wajib baginya untuk mengenal
bidang tersebut sebelum terjun berdakwah.
Al
haqqu min rabbik, falaa takuunanna minal mumtarin. Allahu A'la wa A'lam
Bishshawab…
Tidak ada komentar :
Posting Komentar