Oleh: Dr. Adian Husaini
PEKAN lalu, saya menerima kiriman sebuah buku. Judulnya, “Kekerasan Budaya Pasca 1965.”
(cetakan pertama, 2013). Penulisnya seorang doktor lulusan University
of Queensland, Australia. Buku setebal 330 halaman lebih ini banyak
memberikan pembelaan terhadap kaum dan ideologi komunis di Indonesia.
Namun, tulisan dalam CAP kali ini tidak membahas masalah tersebut.
Meskipun menggunakan perspektif “kiri” dalam menelaah Liberalisme di
Indonesia, berbagai data dan analisa yang tercantum dalam buku ini,
menarik juga disimak oleh kaum Muslimin untuk mendapatkan gambaran
tentang kiprah kaum liberal yang terus merajalela dalam jagad
intelektual dan media massa di Indonesia.
CAP-370 ini hanya akan mengutip beberapa bagian buku
yang membahas tentang kiprah kaum liberal di Indonesia, khususnya yang
dipelopori Goenawan Mohammad dan kawan-kawannya di Teater Utan Kayu
(TUK).
Buku ini meletakkan Goenawan Mohammad (GM) sebagai sosok penting yang
konsisten dalam memegang ideologi liberalisme. Jika pada tahun 1960-an,
Goenawan sangat aktif menentang komunisme, maka di era pasca Perang
Dingin, ia mulai bergeser merangkul komunisme. Berbagai institusi ia
pelopori pendiriannya, seperti Jurnal Kalam (1994), AJI (1994), ISAI
(1995), Galeri Lontar (1996), Teater Utan Kayu (1997), Radio 68H (1999),
Majalah Pantau (1999), dan Jaringan Islam Liberal (2001). Semua itu
tergabung dalam Komunitas Utan Kayu (KUK).
“Penggabungan
institusi-institusi kebudayaan dan intelektual ini menjadi sebuah
komunitas tunggal yang kini bernama KUK telah menggiring tumbuhnya
sebuah kekuasaan kebudayaan yang berpengaruh secara gradual.” (hal.
237).
Di era 1990-an, GM dan kawan-kawan memang
terlibat dalam perlawanan melawan rezim Orde Baru. Tetapi, aliansi yang
dibangun oleh GM bersama aktivis kiri dan mantan tahanan politik saat
itu, “harus diletakkan dalam kerangka ideologis liberalisme yang
diyakininya.”
Menurut analisis buku ini: “Pendekatan simpatiknya terhadap
elemen-elemen kiri bukanlah indikasi bahwa pandangan ideologisnya telah
bergeser menjadi anti-liberalisme Barat, namun sebaliknya, Goenawan
justru memperkuat jaringannya dengan lembaga-lembaga filantropi Barat
untuk mempromosikan liberalisme yang sudah ditekuninya sejak lama.
Inikah yang yang kantas membuat Goenawan dan KUK dicap sebagai
“neoliberal”?” (hal. 239).
Lebih jauh, ditegaskan: “Liberalisme, kita tahu, bukan saja telah
digunakan sebagai senjata ideologis untuk menyingkirkan komunisme di
masa lalu, tetapi juga sebagai kamuflase untuk menyembunyikan wajah asli
ekonomi pasar bebas yang berkait erat dengan proses eksploitasi buruh
dan sumber daya alam. “ (hal. 239).
Mengutip Noam Chomsky, buku ini menyebutkan, bahwa neoliberalisme
hanyalah versi masa kini dari pertarungan segelintir manusia kaya raya
untuk mengebiri hak-hak politik dan kekuatan rakyat jelata yang
berjumlah jauh lebi besar.” Dengan kata lain, ide-ide “demokrasi” dan
“persamaan hak” dalam pandangan liberal telah dimanipulasi oleh para
pendukungnya untuk mengaburkan kepentingan ekonomi para penguasa modal.
(hal. 239-240).
Robert McChesney dikutip pendapatnya: “Pada tingkat tertinggi
kepiawaiannya, para pendukung neoliberalisme akan terlihat seolah-olah
mereka memperlakukan kaum miskin, lingkungan, dan segala hal lainnya
dengan kepedulian luar biasa sambil menyusupkan kebijakan-kebijakan bagi
kepentingan manusia-manusia super kaya yang cuma segelintir itu.
Konsekuensi-konsekuensi dari kebijakan-kebijakan itu selalu sama
dimana-mana, persis seperti yang dapat kita duga: peningkatan
ketidakadilan sosial dan ekonomi yang sangat tajam, makin parahnya
deprivasi yang dialami oleh negara-negara miskin dan manusia di seluruh
dunia, hancurnya keseimbangan lingkungan hidup secara global,
ketidakstabilan perekonomian global dan hadiah yang ternilai bagi para
orang-orang super kaya.” (hal. 240).
Analisis ini menempatkan kaum liberal sebagai sosok-sosok yang aktif
menyuarakan paham liberalisme dengan tujuan memperluas korporasi raksasa
untuk mengeksploitasi kaum miskin. Melalui para ideolognya, dan lewat
jaringan korporasi media yang dikuasainya, kaum liberal berhasil
menggiring masyarakat untuk menciptakan apa yang disebut oleh Chomsky
sebagai “ilusi-ilusi yang dibutuhkan” (necessary illusion).
“Ilusi-ilusi ini pada
gilirannya memungkinkan istilah “demokrasi” mengkamuflase ide-ide
ekonomi pasar bebas untuk ditampilkan sebagai sesuatu yang rasional,
dermawan, dan penting. Tampaknya di titik inilah Goenawan Mohammad
memainkan peran krusialnya sebagai seorang ideolog untuk mempromosikan
liberalisme di dalam aktivitas kebudayaan Indonesia. Tidak mengejutkan
apabila pendekatan Goenawan sesuai dengan strategi yang diambil oleh
hampir semua institusi filantropi Barat untuk, pada satu sisi,
memperlihatkan komitmen mereka kepada masyarakat atas demokrasi, dan di
sisi lain, memperlihatkan “dukungan mereka terhadap kaum elite yang
terpilih dan dibina untuk mengimplementasikan program-program mereka….
Di titik inilah pendekatan kontradiktif Goenawan untuk memperkuat
jaringan filantrofinya dengan Barat di satu sisi, dan di sisi lain
berafiliasi dengan elemen-elemen kiri diletakkan, sementara pada saat
yang sama membangun citra dirinya sebagai seorang aktor demokrasi.”
(hal. 241).
Sejak awal 1960-an, GM sudah sangat akrab
dengan sumber-sumber pendanaan Barat yang berbasis di AS, seperti Ford
dan Rockefeller Foundation. Untuk ISAI (Institut Studi Arus Informasi
Indonesia), tahun 1995, GM mendapat kucuran dana sekitar 100,000-200,000
USD dari USAID dan The Asia Foundation. GM juga mengaku menjalin
persahabatan dengan pendiri Open Society Institute, George Soros, yang
telah banyak membantunya. Pada 17 Oktober 2008, jaringan GM bertambah
lagi dengan didirikannya Komunitas Salihara di daerah Pasar Minggu
Jakarta Selatan dengan biaya Rp 17,5 milyar.
*****
Demikianlah paparan tentang kiprah dan
pemikiran kaum liberal di Indonesia, khususnya yang dimotori oleh GM
bersama kelompoknya di KUK atau Komunitas Salihara. Analisis dalam buku
ini patut kita cermati. Kelompok liberal di Indonesia dipandang sebagai
agen-agen kapitalis yang konsisten menyuarakan aspirasi kaum bermodal.
Bahkan, pembelaan GM terhadap kelompok kiri pun dipandang sebagai bagian
dari konsistensinya dalam membela kepentingan kaum berduit. Inilah
perspektif “kiri” dalam memandang liberalisme secara kritis.
Analisis “kiri” terhadap liberal tentu saja berbeda secara
fundamental dengan analisis liberalisme dalam perspektif “Islam”. Baik
liberalisme maupun komunisme adalah produk pola pikir sekular yang
menolak campur tangan Tuhan dalam kehidupan. Karena itu, analisisnya
berhenti pada aspek materi atau aspek fisik; tidak menyentuh aspek
metafisika, khususnya dimensi Ketuhanan dan keakhiratan. Meskipun
begitu, analisis bahwa kaum liberal KUK konsisten dalam pembelaan
terhadap kaum bermodal, bisa ditemukan faktanya di lapangan.
Jalan berpikirnya sederhana. Era pasca Perang Dingin, Barat tidak
lagi memandang komunisme sebagai musuh utamanya. Pasca 11 September
2001, Islam sudah menempati posisi yang dulunya ditempati komunisme.
Islam dipandang sebagai ancaman potensial. Sebab — dalam istilah Samuel
Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of World Order– “Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt.”
Buku Huntington yang berjudul Who Are We?: The Challenges to America’s National Identity”
(New York: Simon&Schuster, 2004), memberikan gambaran yang lebih
tegas, bahwa musuh utama Barat pasca Perang Dingin adalah Islam – yang
ia tambah dengan predikat “militan”. Namun, dari berbagai penjelasannya,
definisi “Islam militan” melebar ke mana-mana, ke berbagai kelompok
dan komunitas Islam, sehingga definisi itu menjadi kabur.
Dalam Who Are We? Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs. America”,
yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan
posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS: “The rhetoric of America’s
ideological war with militant communism has been transferred to its
religious and cultural war with militant Islam.”
Cobalah kita renungkan kembali analisis buku tersebut terhadap kiprah
GM dan kelompoknya, bahwa :“Di titik inilah pendekatan kontradiktif
Goenawan untuk memperkuat jaringan filantrofinya dengan Barat di satu
sisi, dan di sisi lain berafiliasi dengan elemen-elemen kiri diletakkan,
sementara pada saat yang sama membangun citra dirinya sebagai seorang
aktor demokrasi.” (hal. 241).
Makna kuncinya adalah “kesetiaan pada lembaga donor Barat”. Pasca
Perang Dingin, elemen-elemen kiri bukan lagi dianggap sebagai musuh
Barat. Sebaliknya, Islam dianggap sebagai potensi ancaman terbesar.
Tidak heran jika lembaga-lembaga filantropi Barat kemudian mengalihkan
“bidikannya” kepada kelompok-kelompok Islam. Isu-isu yang mereka sukai
pun bukan isu pengentasan kemiskinan, lingkungan hidup, keadilan hukum,
dan sebagainya, tetapi isu-isu tentang Pluralisme, multikulturalisme,
Kesetaraan Gender, dan sebagainya.
Tidak mengherankan, jika sejumlah aktivis yang dulunya berkutat dalam
bidang advokasi hukum melalui lembaga-lembaga bantuan hukum, kemudian
mengembangkan dirinya bicara tentang “kesetaraan agama”, tentang
“radikalisme”, tentang “pluralisme”, dan sejenisnya. Itu bisa
dimengerti. Sebab, isu-isu itulah yang “laku dijual”.
Itulah bedanya elemen-elemen ideologis dari kalangan kaum Muslim yang
tetap bersikap kritis terhadap Barat, meskipun secara politis pernah
bekerjasama dalam menghadapi komunisme di era pasca Perang Dingin. Sikap
kaum Muslim tetap kritis – baik terhadap liberalisme maupun komunisme,
karena didasari dengan ilmu, dan bukan berdasarkan atas kepentingan
duniawi sesaat. Buku ini, misalnya, mengungkapkan perbedaan pandangan
yang tajam dalam soal liberalisme antara seniman Taufik Ismail dan GM,
meskipun di masa lalu, keduanya gigih dalam menentang komunisme dan
aktif bekerjasama dengan lembaga-lembaga filantropi Barat.
Dalam pandangan Islam, liberalisme yang kemudian ditempelkan pada
Islam menjadi “Islam liberal” jelas merupakan kesalahan berpikir,
kesalahan paham, dan pahamnya salah. Kaum liberal sangat bernafsu untuk
menundukkan Islam sebagai produk sejarah. Aqidah dan syariah Islam pun
mereka paksa untuk tunduk pada perubahan sejarah dan budaya. Ajaran
yang meyakini agamanya sendiri yang benar harus diganti dengan ajaran
yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama benar dan sah sebagai
jalan menuju Tuhan yang sama. Corak teologi yang meyakini kebenaran
agamanya sendiri dianggap sudah tidak layak lagi diterapkan di era
globalisasi, karena tidak kondusif untuk mewujudkan perdamaian
universal. Menurut kaum liberal ini, teologi manusia mengalami proses
evolusi: dari animisme, dinamisme, politeisme, henoteisme, sampai pada
momoteisme. Tapi, monoteisme pun belum dianggap final. Muncul lagi,
pluralisme yang pada hakekatnya juga merupakan wajah lain dari ateisme.
Al-Quran pun dipaksakan kedudukannya sebagai sebagai produk budaya
Arab, sehingga harus ditafsirkan dalam konteks budaya Arab. Seorang
dosen Fakultas Syariah di sebuah Perguruan Tinggi di Semarang
menjelaskan bahwa kewajiban mahar harus dibayar oleh laki-laki kepada
mempelai perempuan disebabkan ayat tentang mahar turun di Arab yang
berbudaya patriarkhi. Jika perkawinan terjadi di daerah Minangkabau,
katanya, bisa saja mahar diberikan oleh pihak perempuan, karena secara
budaya, perempuan di daerah itu lebih dominan dibandingkan laki-laki.
Masih ada lagi contoh penundukan Islam pada konteks budaya. Larangan
perkawinan lintas agama, khususnya antara muslimah dengan laki-laki
non-muslim, ditundukkan pada konteks budaya dan kondisi zamannya.
Larangan perempuan menjadi wali dalam pernikahan pun mulai digugat,
karena dianggap menyudutkan posisi perempuan. Bahkan, sejumlah buku
tentang Kesetaraan Gender yang diajarkan di Perguruan Tinggi Islam,
sudah menggugat perbedaan fiqih antara laki-laki dan perempuan dalam
soal aqiqah, shalat jamaah, kewajiban shalat Jumat, kewajiban istri taat
pada suami, dan sebagainya.
Jadi, isu-isu yang dilontarkan oleh kaum liberal itu masih berkutat
seputar perubahan aqidah dan hukum Islam, agar sesuai dengan konteks
budaya dan pemikiran Barat modern yang liberal. Konsep hubungan
laki-laki dan perempuan juga dipaksa sesuai dengan budaya liberal Barat,
bahwa perempuan harus menjadi makhluk yang terpisah dari tanggung jawab
keluarga saat sudah dewasa.
Tentu saja pemikiran kaum liberal itu keliru. Mereka tidak meletakkan
aqidah dan syariat Islam sebagai produk wakyu, bukan produk budaya.
Sebagai agama wahyu yang memiliki aspek yang “tetap” (tsawabit), Islam
adalah agama yang tidak tunduk oleh budaya dan masa tertentu. Aqidah
Islam tidak berubah sejak masa Nabi Muhammad saw. Syahadat Islam pun
tetap. Tata cara shalat, puasa, zakat, haji, mengubur jenazah, dan
sebagainya, juga tetap sepanjang masa. Konsep semacam ini tidak dikenal
oleh kaum liberal. Mereka salah paham. Sebab, mereka sudah meletakkan
konsep-konsep Barat lebih tinggi dari al-Quran dan Sunnah Nabi. Kita
tidak jemu-jemu mengingatkan berbagai pihak, agar berhati-hati terkena
virus liberalisme, yang bisa menggerogoti pemikiran dan aqidah Islam.
Mungkin, itu terjadi tanpa sadar.
Tidak semua orang menjadi liberal karena tergiur harta dan kehidupan
mewah duniawi. Bisa juga karena terpaksa, karena itu jalan mudah
mengubah taraf hidup dan strata sosial di dunia. Dalam penelitian sosial
tentang maraknya pemikiran liberal, terkadang, perlu dicermati juga
aspek latar belakang sosial-ekonomi para aktivis liberal. Apakah ada
hubungan – misalnya – antara tingkat kemiskinan dengan tingkat
liberalisme seseorang. Mungkin ada dan mungkin tidak. Sebab, patut
dihipotesakan, sikap minder dan menjiplak secara kalap terhadap
pandangan alam Barat-iberal, bisa jadi ada hubungannya dengan latar
belakang aktivis liberal yang mungkin sangat miskin dan sangat “ndeso”.
Apa pun latar belakangnya, liberalisisasi Islam sudah sangat terasa
dampaknya di tengah masyarakat. Maraknya berbagai ajaran sesat biasanya
tak lepas dari campur tangan kaum liberal. Tentu, sebagai muslim,
kewajiban kita hanya mengingatkan – baik kaum liberal maupun kaum
ateis-komunis – agar kembali kepada ajaran Islam yang di bawa oleh Nabi
terakhir; agama yang sudah dewasa dan sempurna ajarannya sejak lahir;
agama yang tidak tunduk oleh perubahan zaman dan budaya.
Sebagian kaum liberal mungkin belum sadar, bahwa penyandaran
konsep-konsep kehidupan manusia hanya pada akal dan hawa nafsu, hanya
akan menyebabkan ketidakpastian hidup yang pada ujungnya akan
memperpanjang ilusi, derita dan nestapa, dunia dan akhirat.
Semoga kita tidak tertipu oleh godaan gemerlapnya liberalisme dan bersedia dengan tulus ikhlas menerima hidayah Allah SWT. Amin.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar