JURNAL Pemikiran Islam Islamia (Republika-INSISTS), edisi Kamis (18/07/2013), menurunkan sebuah tulisan menarik berjudul “ISLAMISASI, DEWESTERNISASI DAN DEKOLONISASI”,
karya Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud. Bagi pecinta dan pemerhati
khazanah pemikiran Islam kontemporer, nama penulis tersebut tentu sudah
tidak asing lagi.
Tahun lalu, Prof Wan Mohd Nor meluncurkan buku penting berjudul Rihlah Ilmiah: Dari Neomodernisme ke Islamisasi Ilmu Kontemporer.
Buku ini menggambarkan perjalanan intelektualnya, berguru kepada dua
ilmuwan besar di abad ke-20 dan ke-21, yaitu Prof. Fazlur Rahman –
pelopor gagasan neomodernisme – dan Prof. Naquib al-Attas – pelopor
gagasan Islamisasi Ilmu kontemporer. Kini, bersama sejumlah cendekiawan
muslim berkaliber tinggi, ia memimpin sebuah institusi pendidikan tinggi
pasca sarjana bernama Center for Advanved Studies on Islam, Science, and Civilization (CASIS), Universiti Teknologi Malaysia, yang kini menjadi salah satu pusat perkaderan intelektual Muslim dari berbagai dunia.
Dalam artikelnya – yang dikutip dari monograp pidato professorialnya
--- Prof Wan Mohd Nor menekankan pentingnya kaum Muslim memiliki
kepedulian serius terhadap pengembangan institusi pendidikan tinggi.
Sebab, institusi inilah yang paling strategis dan arkitektonis
menentukan perkembangan suatu bangsa.
Mengutip pendapat sejumlah akademisi terkemuka, seperti Clerk Kerr,
disebutkan, bangsa-bangsa yang bermaksud meraih pengaruh intenasional
seyogyanya mendirikan pusat-pusat studi yang unggul (excellent) pada level tertinggi. (Clerk Kerr, “The Frantic Rush to Remain Contemporary” Deadalus. Journal of the American Academy of Arts and Sciences. Volume 94, No. 4 Fall 1964).
Philip Coombs, mantan Undersecretary of State AS semasa
pemerintahan John F Kennedy, menyatakan, bahwa pendidikan dan budaya
adalah “aspek keempat” dari politik luar negeri, disamping ekonomi,
diplomasi dan aspek militer. Babak Perang Dingin telah meningkatkan
kepentingan strategis dari Pendidikan Tinggi. Kini, persenjataan modern
lebih bergantung pada ilmu pengetahuan ilmiah dibandingkan dengan
hitungan tradisional jumlah tentara dan banyaknya perlengkapan militer.
(Philip Coombs, The Fourth Dimension of Foreign Policy: Education and Cultural Affairs (New York: Harper and Row, 1964).
Pada 6 Juli 2013, saat bertindak sebagai keynote speaker dalam
Seminar tentang Pendidikan Islam di Jakarta, Prof Wan Mohd Nor juga
sudah memberikan penjelasan yang sangat mendasar tentang pentingnya para
akademisi Muslim memberikan perhatian yang serius terhadap Pendidikan
Tinggi dan terus berusaha melakukan proses islamisasi terhadap ilmu
pengetahuan. Itu bukan berarti mengabaikan pendidikan tingkat dasar dan
menengah.
Tapi, perlu dicatat, bahwa para guru yang mengajar di pendidikan
dasar dan menengah adalah produk dari pendidikan tinggi. Bukankah Nabi
Muhammad saw juga sudah mengingatkan, bahwa anak-anak terlahir dalam
kondisi fitrahnya. Kedua orang tualah yang mengarahkannya menjadi
Majusi, Yahudi, atau Nasrani.
Seminar pendidikan Islam itu diselenggarakan oleh Program Pendidikan
Islam Pasca Sarjana UIKA Bogor, bekerjasama dengan Casis-UTM dan
AQL-Islamic Center pimpinan KH Bahtiar Nasir. Seminar juga mengambil
tema Islamisasi Kurikulum Pendidikan Tinggi.
Pemakalah lain adalah Dr. Nirwan Syafrin (pakar pemikiran Islam,
wakil rektor UIKA Bogor), Dr. Wendi Zarman (pakar sains Islam, dosen
UNIKOM Bandung), dan Adnin Armas MA (pakar filsafat Islam, direktur
eksekutif INSISTS), Dr. Adian Husaini, dan juga KH Bahtiar Nasir,
Sekjen Majlis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).
Sebelum seminar di Jakarta tersebut, pada 26 Juni 2013, Prof Wan
Mohd Nor menyampaikan pidato profesorialnya yang bersejarah di UTM,
berjudul “ISLAMIZATION OF CONTEMPORARY KNOWLEDGE AND THE ROLE OF THE UNIVERSITY IN THE CONTEXT OF DE-WESTERNIZATION AND DECOLONIZATION.”
Pidato ini dihadiri oleh lebih dari 550 akademisi dari berbagai negara
dan universitas serta disebut-sebut sebagai pidato ilmiah yang paling
banyak menarik perhatian dalam sejarah universitas tersebut.
Dalam pidatonya -- yang sebagiannya dikutip dalam artikel di Jurnal Islamia
INSISTS-Republika tersebut -- Prof Wan Mohd Nor menggambarkan fenomena
global munculnya kesadaran kritis terhadap dampak buruk peradaban Barat
bagi kemanusiaan. Menurutnya, globalisasi Eropa dimulai dengan
perjalanan-perjalanan “penemuan” pada akhir abad ke 15.
Hal ini diikuti dengan imperialisme, yang dicirikan dengan adanya
penaklukan dan pengendalian politik secara langsung dari kota-kota besar
Eropa.
Sejak abad ke-17 dan seterusnya, imperialisme ini berhasil terwujud
berkat kolonisasi – dengan pembentukan komunitas-komunitas imigran di
wilayah-wilayah penjajahan, meniru kota-kota besar, dan didukung dengan
adanya perbudakan dan buruh kontrak. Itu menghasilkan kolonisasi —
sebuah kondisi yang mengacu pada penundukan sistematis bangsa terjajah.
Perkembangan yang saling terkait ini, yang dimungkinkan oleh worldview
Eropasentris yang menggambarkan perspektif epistemik tertentu, telah
menimbulkan banyak penderitaan dan kerugian politik, ekonomi, serta
sosial budaya penduduk asli. Dominasi Barat menjadi lebih intensif –
dengan ikut berperannya Amerika Serikat pada pertengahan abad ke 20
dalam bentuk neokolonialisme – terutama melalui konsep modernisasi dan
perkembangan, dan kemudian, melalui konsep demokrasi, kebebasan, dan hak
asasi manusia.
Dijelaskan, bahwa kolonisasi memainkan peran penting dalam konsepsi
dan sifat Perguruan Tinggi di semua negara yang baru merdeka. Dalam
arti, bahwa meskipun banyak diantaranya yang didirikan sebelum
kemerdekaan, namun keberadaan mereka hingga kini - dan pembentukan
Perguruan Tinggi-perguruan tinggi yang baru – dibuat untuk melayani
kepentingan modernisasi bangsa dan negara baru sesuai dengan pola yang
"benar" ala Barat. Perkembangan ekonomi dari Negara-negara "belum
berkembang" ini dipaksa untuk mengikuti dengan ketat semua tahapan
Rostowian yang memungkinkan modernisasi termasuk penerapan semua lembaga
yang memungkinkan pencapaian tersebut di Barat, termasuk perguruan
tinggi-perguruan tingginya.
Kesadaran baru
Tapi, sejak era 1970-an, muncullah kesadaran akan dampak buruk westenisasi dan kolonisasi sehingga memunculkan wacana “de-westernisasi” dan dekolonisasi di berbagai belahan dunia. Sejak tahun 1970-an pula, gerakan Ilmu Pengetahuan Pribumi (Indigenous Knowledge Movement),
terutama di Amerika Utara, yang berusaha untuk menawarkan satu sistem
alternatif bagi pendidikan dan ilmu pengetahuan -- selain yang
ditawarkan Eropa -- menerima penghargaan dan pengakuan internasional.
Pada 1990-an, gerakan ini telah menghasilkan wacana dekolonisasi dan
memikirkan kembali pendidikan bagi masyarakat pribumi.
Lebih jauh dipaparkan, bahwa adalah penting bagi warga demokrasi
liberal Eropa untuk memahami suara-suara alternatif dan bahkan tidak
setuju dengan yang lain, yang tidak hanya akan memperlambat roda
neo-kolonialisme, tetapi yang lebih penting, akan membuat orang Barat
memahami bagaimana mitos superioritas mereka telah merusak diri mereka
sendiri. “Mereka mungkin bisa mulai menangani ekses mereka sendiri,
mempertanyakan lembaga dan gaya hidup mereka sendiri, sebelum memutuskan
pada tindakan yang benar bagi orang lain.” (Peter Cox, “Globalization of What?”, hal. 6.)
Di tengah-tengah gencarnya isu terorisme Islam, Martin Jacques, dalam bukunya, When China Rules the World,
justru mengungkapkan, bahwa tantangan yang lebih besar terhadap
peradaban Barat pasca Perang Dingin, bukanlah terorisme Islam, tetapi
suatu era yang disebutnya sebagai "Era modernitas yang diperdebatkan".
Di antara banyak isu-isu kunci, Jacques berpendapat bahwa ide-ide yang
berkaitan dengan makna kemajuan, pengembangan, dan peradaban tidak akan
lagi identik dengan Barat.
Seorang pakar Cina kontemporer terkemuka, Huang Ping, dengan percaya
diri menekankan perbedaan mendasar antara peradaban Cina dan Barat dan
seseorang akan berpendapat bahwa, "Praktek Cina sendiri mampu
menghasilkan alternatif konsep, teori, dan framework yang lebih meyakinkan.”
Ulrich Beck, seorang sosiolog di University of Munich dan London
School of Economics, dalam sebuah wawancara belum lama ini, berbicara
tentang bagaimana kesuksesan besar Modernitas Eropa pertama dari abad
ke-18 hingga tahun 1960-an dan 1970-an kini telah menghasilkan
konsekuensi yang tak terjawab, seperti perubahan iklim dan krisis
keuangan. Dia menambahkan, "Krisis keuangan adalah contoh kemenangan
interpretasi spesifik dari modernitas: modernitas neo-liberal setelah
keruntuhan sistem komunis, yang menyatakan bahwa pasar adalah solusi dan
semakin kita meningkatkan peran pasar , semakin baik. Tapi sekarang
kita melihat bahwa model ini jatuh dan kita tidak memiliki jawaban."
Menurutnya, " ...modernitas Eropa adalah proyek bunuh diri ...
Menciptakan modernitas kembali bisa menjadi tujuan khusus untuk Eropa.”
Demikianlah paparan tentang munculnya berbagai gerakan dewesternisasi
dan dekolonisasi dari Prof. Wan Mohd Nor. Paparan ini menyadarkan,
bahwa munculnya usaha-usaha dewesternisasi dan dekolonisasi
di belahan dunia – termasuk di Negara Barat sendiri – semakin
memperkuat logika keabsahan adanya proses islamisasi dalam bidang
keilmuan.
Banyak ilmuwan Muslim yang telah menulis tentang dampak buruk konsep
keilmuan sekuler Barat terhadap kemanusiaan. Tetapi, sebuah langkah
berdasar pada konsep yang sistematis dan mendasar telah dipelopori oleh
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang sejak lama mengingatkan bahwa
problem utama umat Islam adalah “problem ilmu pengetahuan” (the problem of knowledge).
Dalam berbagai karyanya, yang dimulai di awal 1970-an, Prof. Naquib
al-Attas menjelaskan dasar-dasar perbedaan ontologis, epistemologis,
etika dan budaya antara Islam dan Barat sekuler yang dominan. Al-Attas
pun telah meluncurkan wacana serius tentang dewesternisasi dan
dekolonisasi melalui proyek intelektual islamisasi pengetahuan
kontemporer, yang berpusat di universitas. Menurut al-Attas, islamisasi
adalah: “usaha untuk membebaskan manusia pertama-tamanya
dari tradisi magis, mitos, animistik, kultur nasional, lalu membebaskan
dari jeratan sekular yang membelenggu akal dan bahasanya. Orang Islam
adalah orang yang akal dan bahasanya tidak lagi dikontrol oleh magis,
mitos, animisme dan tradisi nasionalisme dan kulturalnya. Inilah
perbedaan antara Islam dan sekularisme.”
Menurut Prof. Wan Mohd Nor, tujuan akhir dari dewesternisasi,
dekolonisasi, dan Islamisasi pengetahuan dan pendidikan kontemporer
harus benar-benar difokuskan pada pembentukan manusia yang tepat yang
akan melakukan berbagai peran dalam masyarakat. Proyek dekolonisasi,
de-westernisasi, dan Islamisasi bukan sekedar reaksi untuk kondisi
eksternal yang tidak islami belaka, tetapi yang lebih penting, dan
mendasar, adalah kembali kepada tujuan dan sifat asli manusia yang
membawa manusia ke tujuan penerimaan dan penyebaran pengetahuan dan
makna serta tujuan pendidikan, yakni terbentuknya manusia yang baik,
manusia yang beradab.
Penjelasan pakar pendidikan Islam internasional ini sangat penting
untuk kita renungkan dalam rangka mengevaluasi dan terus memperkuat
gerakaaan Islamisasi ilmu dan juga lembaga-lembaga pendidikan. Seperti
ditegaskan Prof Wan Mohd Nor, di saat westernisasi dan kolonisasi dalam
berbagai bentuknya masih berpengaruh dalam konteks globalisasi saat ini,
upaya sejumlah ilmuwan Muslim untuk melakukan Islamisasi ilmu
pengetahuan kontemporer, bukan hanya usaha yang sah untuk
mempertahankan identitas agama dan budaya mereka, tetapi juga usaha
untuk menawarkan alternatif yang lebih baik dari modernitas Barat, yang
telah menunjukkan defisit yang serius pada level global.
Fakta menunjukkan, defisit modernitas Barat itu telah melintasi
batas-batas agama, budaya, dan batas-batas negara, sehingga banyak
ilmuwan non-muslim dan pembuat kebijakan di berbagai tempat menyampaikan
hujjah tentang perlunya melakukan usaha de-westernisasi,
dekolonialisasi, dan pribumisasi dari framework ilmu
pengetahuan. De-westernisasi dan Islamisasi ilmu kontemporer – dalam
keterkaitannya dengan konsep universitas Islam dan adab – adalah salah
satu dari usaha-usaha ini. Bahkan, dibandingkan dengan gerakan sejenis,
islamisasi ilmu kontemporer, lebih bersifat spiritual, komprehensif,
universal dan lebih kuat pengaruhnya.
Penegasan Prof. Wan Mohd Nor tentang nilai strategis gerakan
Islamisasi ilmu ini bisa kita jadikan sebagai bahan evaluasi proses
gerakan islamisasi ilmu yang telah dan sedang diterapkan di
lembaga-lembaga pendidikan Islam, mulai tingkat dasar sampai perguruan
tinggi. Kita perlu menekankan dan mengingat terus, bahwa hakekat dan
tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencetak manusia yang baik, seperti
ditegaskan oleh Prof. Naquib al-Attas dalam bukunya, Islam and
Secularism: “The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate
goodness or justice in man as man and individual self. The aim of
education in Islam is therefore to produce a good man… the fundamental
element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation
of adab…”
Manusia diciptakan Allah dalam kondisi dan potensi yang berbeda-beda
satu dengan lainnya. Dalam kaitan inilah, kita perlu memahami dan
mengimplementasikan konsep keunikan manusia, sebagaimana disabdakan oleh
Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam: “Manusia itu adalah
barang tambang, laksana emas dan perak. Orang-orang terbaik diantara
mereka di masa Jahiliyah adalah orang-orang terbaik juga di masa Islam,
apabila mereka faqih fid-ddin.” (Muttafaq 'alaih).
Manusia-manusia yang ingin kita hasilkan dari lembaga pendidikan kita
adalah manusia yang baik, manusia yang bermanfaat untuk manusia. Godaan
syahwat materialisme dan hedonisme telah banyak menggoda lembaga
pendidikan untuk terjun ke pusaran pragmatisme di bidang pendidikan,
khususnya di perguruan tinggi. Kekeliruan dan ketidaktahuan konsep ilmu
dalam Islam telah menjerat banyak potensi-potensi unggul kaum Muslim ke
pusaran pragmatisme, tanpa sadar melupakan amanah keilmuan dan keulamaan
yang wajib diemban oleh ummat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Kita melihat, kini, tak sedikit sarjana-sarjana pintar yang terjebak
dalam rutinitas pekerjaan, tanpa terpikir lagi untuk meningkatkan
keilmuan fardhu ain dan fardhu kifayahnya. Tidak sedikit yang kemudian
terjebak ke dalam kubangan kehidupan materialisme, dengan melupakan
tujuan hidup dan kewajibannya sebagai umat pengemban dakwah Islam,
mewujudkan misi rahmatan lil-alamin.
Itulah perlunya islamisasi ilmu, yang tujuan finalnya adalah untuk
melahirkan manusia-manusia yang beradab tinggi, manusia yang mampu
mengemban amanah khalifatullah dan amanah risalah kenabian. Apa yang
dipaparkan oleh Prof Wan Mohd Nor kita jadikan sebagai bahan nutrisi
tambahan untuk meningkatkan stamina kita dalam melakukan proses
islamisasi yang tiada kenal henti. Sebab, tantangan intenal dan
eksternal pun terus menghadang. Wallahu a’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar