KATA kunci dari belajar dan mengajar adalah perubahan. Ya,
perubahanlah yang menjadi ukuran apakah seorang anak sudah belajar dan
seorang guru atau guru sudah mengajar. Maka setiap langkah guru menuju
sekolah, menuju kelas, adalah langkah perubahan.
Setiap goresan tinta guru dalam merencanakan pembelajaran adalah
goresan perubahan. Setiap kelas yang guru masuki, adalah medan
perubahan. Demikian seharusnya. Setiap anak yang kita jumpai adalah
jawaban benarkah guru dan orang tua sudah membuat mereka berubah?
Pada faktanya, melakukan perubahan tidak semudah membalikan tangan,
tidak semudah sulap yang cukup dengan berucap sim salabin abrakadabra.
Dengan kata lain, acapkali kita menemukan anak yang gagal dalam belajar
alias tidak menunjukkan perubahan. Mengapa? Tentang inilah saya ingin
berbagi melalui tulisan ini. Saya akan merujuk pemikiran Burhanuddin
Az-Zarnujy, seorang ulama besar abad 7 Hijriyah yang pakar pendidikan
akhlak dan psikologi belajar Islam.
Makna Gagal Belajar
Ada dua makna gagal belajar. Pertama, sama sekali tidak mendapatkan
pemahaman tentang yang ilmu yang dipelajari, tidak mencapai kompetensi
yang seharusnya dipenuhi. Saya menyebutnya, bolostrong (bahasa
Sunda), artinya kosong. Masuk kelas dengan kepala kosong, ke luar kelas
masih kosong. Nah, itu namanya bolostrong. Sungguh kasihan bila
anak-anak kita setiap hari seperti ini. Tapi lebih kasihan lagi kita
sebagai gurunya. Bukankah sangat mungkin kitalah justru yang membuat
mereka bolostrong?
Makna kedua dari gagal belajar adalah tidak adanya karakter yang
terbentuk. Ilmu mungkin dikuasai, konsep dan prosedur mungkin dipahami,
KKM mungkin dilampaui dengan sangat jauh, tetapi tidak berefek pada
perubahan sikap dan perilaku, alias karakter. Inilah yang disebut ilmu
tidak manfaat.
Mengapa Gagal?
Kegagalan belajar bermuara pada dua sebab utama, yaitu berkaitan
dengan metode dan etika. Artinya belajar tanpa metode dan belajar tanpa
etika, itulah pewaris kegagalan belajar yang dialami siswa. Belajar
tanpa metode dan etika adalah belajar menuju gagal.
Belajar tanpa metode, itulah yang hampir umum ditemukan pada
anak-anak kita, atau mungkin di hampir semua sekolah. Sudahkah anak-anak
kita mengetahui metode mencatat yang efektif, metode membaca, metode
menghafal, metode menjawab, metode mempelajari sebuah mata pelajaran?
Mari persempit pertanyaanya pada mata pelajaran yang kita ampu.
Sebagai guru agama misalnya, saya harus bertanya sudahkan anak-anak
didik saya tahu bagaiman metode mempelajari Islam yang baik dan efektif?
Atau dipersempit lagi pada kompetensi tertetu. Sudahkah anak-anak didik
saya mengetahui metode memahami ilmu waris yang mudah dan cepat?
Maka kewajiban seorang guru adalah mengenalkan dan mengajarkan
kepadan anak metode belajar. Mengajarkan metode belajar jauh lebih
penting daripada mengajarkan materi atau kompetensi mata pelajaran itu
sendiri. Mengajar sebuah mata pelajaran tanpa mengajarkan bagaimana
metode mempelajarinya, sama dengan menyuruh anak masuk kolam renang
tanpa diajarkan cara berenang. Tidak kelelep pun dah syukur! Mak, mari
ajari anak-anak kita belajar bagaimana cara belajar.
Bayangkan, bila seorang guru menghabiskan alokasi 1 tatap muka dengan
2 jam pelajaran untuk mengenalkan metode belajar mata pelajaran yang
diampunya, sungguh menurut saya itu akan jadi senjata ampuh dan energi
dahsyat untuk dengan mudah mempelajari mata pelajaran tersebut pada
belasan tatap muka lainnya. Itulah kekuatan metode.
Demikianlah betapa pentingnya seorang guru, da’i, orang tua, dan
semua yang terlibat dalam pendidikan memahami pentingnya metode.
Mewariskan Islam kepada anak-anak kita perlu disertai dengan kesadaran
akan hal ini. Sangat disayangkan, masih banyak guru dan da’i yang
pengajarannya tentang Islam hanya mementingkan isi dan melupakan metode.
Padahal bila berkaca kepada sejarah hidup Rasulullah saw, betapa
Rasulullah saw adalah sosok yang sangat memperhatikan metode.
Di sekolah, saya sering berseloroh, salah besar bila guru mengajar
tapi tidak mengajarkan metode belajar. Mengapa? Ya, karena itu sama saja
dengan membiarkan siswa gagal sejak awal.
Lalu bagaimana dengan masalah etika dalam belajar?
Selasa, 28 Januari 2014
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar