Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai pentingnya
negara dan keberadaan negara untuk menerapkan, menjaga dan mengemban
Islam. Bahkan Hujjatu al-Islâm, Imam al-Ghazâli (w. 555 H), menyatakan:
الدين والسلطان توأمان.. الدين أسوالسلطان حارس، فما أس له مهدوم، وما لا حارس له فضائع
Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi dan
kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi pasti akan runtuh dan
sesuatu tanpa penjaga pasti akan hilang.1
Para ulama’ ushul
telah memasukkan negara (dawlah) sebagai bagian dari kemaslahatan vital
(mashlahah dharûriyyah), yang ketiadaannya akan menyebabkan kerusakan
dalam kehidupan umat manusia.2
Negara didefinisikan oleh al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddn an-Nabhani sebagai:
كيان تنفيذي لمجموعة المفاهيم، والمقاييس والقناعات التي تقبلتها مجموعة من الناس
Entitas pelaksana untuk melaksanakan kumpulan pemahaman, standarisasi
dan keyakinan yang diterima oleh sekumpulan umat manusia. 3
Karena itu, adanya negara untuk mengurus urusan merupakan masalah vital
dalam kehidupan umat manusia. Masalah ini dianggap sebagai masalah yang
sudah dimaklumi urgensinya dalam Islam atau yang biasa disebut
ma’lûm[un] min ad-dîn bi ad-dharûrah.
Di mana letak urgensinya?
Dalam pandangan Imam al-Ghazâli, negara berfungsi sebagai penjaga agama
(hâris). Sebenarnya negara bukan hanya berfungsi sebagai penjaga, tetapi
lebih dari itu. Negara juga berfungsi untuk menerapkan hukum syariah
serta menjaga dan mengemban risalah Islam kepada umat lain. Karena itu,
negara merupakan metode baku dalam Islam untuk menerapkan, menjaga dan
mengemban hukum syariah.4
Ini tentang esensi negara, fungsi dan
kedudukannya dalam Islam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Islam,
bahkan menjadi satu-satunya metode baku dalam menerapkan, menjaga dan
mengemban Islam. Inilah Khilafah Islam. Karena itu hukum menegakkan
Khilafah, ketika tidak ada, wajib bagi umat Islam. Sebab, tanpa Khilafah
ini mustahil Islam bisa diterapkan, dijaga dan diemban ke seluruh
dunia. Kaidah syariah menyatakan:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Suatu kewajiban yang tidak akan sempurna, kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib.
Khilafah atau Negara Islam, esensinya adalah kekuasaan yang melakukan
pengurusan kemaslahatan rakyat, dan mensupervisi pelaksanaannya dengan
Islam. Karena kekuasaan dalam Islam itu bersifat tunggal, bukan
kolektif, maka Khilafah atau Negara Islam itu esensinya adalah Khalifah.
Karena itu pembahasan para ulama’ tentang kewajiban mengangkat khalifah
(nashb al-imâm), sesungguhnya bukan hanya membahas tentang kewajiban
mengangkat individu khalifah, tetapi sekaligus kewajiban mendirikan
Khilafah. Imam al-Farra’ (w. 458 H) menyatakan, “Mengangkat imam
hukumnya wajib. Ahmad ra. berkata dalam riwayat Muhammad bin ‘Auf bin
Sufyan al-Humashi, ‘Fitnah, jika tidak ada imam yang mengurusi urusan
umat manusia.’” 5
Al-Imidi (w. 631 H) menyatakan, “Mazhab Ahl
al-Haq di kalangan kaum Muslim menyatakan, bahwa mengangkat imam
(khalifah) dan para pengikutnya hukumnya fardhu bagi kaum Muslim.” 6
Ibn Hazm al-Andalusi (w. 456 H) menyatakan, “Semua Ahlu Sunnah sepakat
tentang kewajiban Imamah. Umat wajib tunduk kepada Imam yang adil dan
menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka serta mengurus
mereka dengan hukum-hukum syariah.”7
Al-Baghdadi (w. 429 H) menyatakan, “Sesungguhnya adanya Imamah hukumnya fardhu bagi umat dalam rangka mengangkat imam.” 8
Kewajiban tersebut ditarik dari sejumlah dalil, di antaranya firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan penguasa di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 59)
Perintah untuk menaati penguasa yang menerapkan hukum Allah di antara
kalian juga merupakan perintah untuk mengangkatnya, jika penguasa
tersebut tidak ada. Sebab, Allah SWT tidak akan mungkin memerintahkan
sesuatu yang tidak ada. Allah SWT juga tidak akan memerintahkan
kewajiban menaati sesuatu yang adanya tidak wajib. Ini menjadi bukti,
bahwa adanya uli al-amr (penguasa) yang menerapkan hukum Allah ini
adalah wajib.
Karena itu Syaikh Wahhab Khallaf menyatakan, “Wajib
menjadikan urusan kepemimpinan ini sebagai bagian dari agama dan
taqarrub yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.” 9
Bahkan beliau menegaskan, “Mengurusi urusan umat manusia ini merupakan
kewajiban agama yang paling agung. Bahkan agama ini tidak akan tegak,
kecuali dengannya.” 10
Karena itu semua konteks pembahasan para
ulama, baik ushul, fikih maupun tafsir, dalam kaitannya tentang
kewajiban mengangkat imam atau memilih pemimpin ini adalah dalam rangka
menerapkan, menjaga dan mengemban Islam. Bukan asal pemimpin, apalagi
pemimpin yang dipilih untuk menerapkan hukum kufur. Pasalnya, selain
nas-nas yang memerintahkan ketaatan, juga ada nas-nas yang melarang
ketaatan terhadap orang tertentu, dengan sifat dan perbuatan tertentu.
Allah SWT berfirman:
وَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَالْمُنَافِقِينَ
Janganlah kalian mentaati orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu (QS al-Ahzab [33]: 48)
وَلا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا
Janganlah kalian menaati orang-orang yang berdosa dan orang-orang kafir di antara mereka (QS al-Insan [76]: 24)
Ayat-ayat di atas melarang kita untuk menaati orang kafir, orang munafik dan orang-orang yang berdosa. Nabi saw. juga bersabda:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam melakukan kemaksiatan kepada sang Pencipta (HR Ahmad)
Dengan demikian, kewajiban menaati pemimpin di antara kaum Muslim ini
dibatasi pada pemimpin yang menerapkan hukum Islam, bukan pemimpin yang
menerapkan hukum kufur. Jika pemimpin seperti ini tidak ada, maka hukum
mengadakannya menjadi wajib. Karena itu, dalil terkait dengan kewajiban
mengangkat atau mengadakan pemimpin seperti ini tidak bisa diberlakukan
secara umum, termasuk untuk memilih atau mengangkat pemimpin yang tidak
menerapkan hukum Islam.
Menggunakan dalil ketaatan kepada
pemimpin, khususnya QS an-Nisa’ [04]: 59, untuk menaati pemimpin yang
tidak taat kepada Allah dan Rasul juga tidak tepat. Apalagi untuk
menarik hukum tentang kewajiban mengangkat pemimpin yang tidak taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, tentu lebih tidak relevan lagi, baik dari
aspek manthûq, mafhûm maupun syubhat ad-dalîl. Bahkan penggunaan nas-nas
al-Quran maupun as-Sunah untuk menyatakan pandangan seperti itu
merupakan bentuk iftirâ’ (kebohongan besar) terhadap Allah, serta
penyesatan opini yang besar sekali dosanya di sisi Allah SWT. [KH.
Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Hujjatu al-Islam, Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hlm. 255-256.
2 Lihat: Al-Hafizh as-Syathibi, Al-Muwafaqat fi ‘Ulum
as-Syari’ah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, II/12; Muhammad Husain
‘Abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islami, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. I,
1990, hml. 44-45.
3 Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, Min Mansyurat Hizb at-Tahrir, I/6.
4 Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Islam, Min Mansyurat Hizb at-Tahrir
5 Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra’, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. 1983, hlm. 19.
6 Saifuddin al-Amidi, Ghayat al-Maram, hlm. 364.
7 Al-Hafidh Ibn Hazm al-Andalusi, Al-Fashl fi al-Milal wa an-Nihal, IV/87.
8 Al-Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu bayna al-Firaq, hlm. 210.
9 ‘Abdul Wahhad Khallaf, As-Siyasah as-Syar’iyyah, hlm. 162.
10 Ibid, hlm. 161.